Rumitnya Menggulingkan Setya Novanto dari Kursi Pimpinan DPR



Rabu, 19 Juli 2017 | 15:41:08 WIB



Ketua DPR Setya Novanto saat memenuhi pangilan KPK pada pekan lalu
Ketua DPR Setya Novanto saat memenuhi pangilan KPK pada pekan lalu

Advertisement


Advertisement

JAKARTA, eNewsTimE.co - Ditetapkannya Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, membuat fraksi partai politik di DPR bersikap. Kemarin, Sekretaris Fraksi Partai Demokrat Didik Murianto dengan tegas meminta agar Novanto lebih baik meletakkan jabatannya sebagai Ketua DPR. 

Hal serupa disampaikan Sekretaris Fraksi PDIP Hendrawan Supratikno, mundur dari jabatan merupakan opsi yang paling layak. Namun memang, mundur tidaknya Novanto tergantung pada sikap pribadi. 

Begitu pula jika diberhentikan. Kepala Badan Keahlian DPR Johnson Rajagukguk menjelaskan, berdasarkan kajian dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, Pasal 87 dikatakan, pimpinan DPR dapat diberhentikan apabila, meninggal dunia, mengundurkan diri, dan diberhentikan oleh fraksi partai politiknya di DPR.

Jika pimpinan DPR misal, tersangkut hukum, maka Pasal 87 ayat 2 huruf c menyebutkan, pemberhentian bisa dilakukan manakala ada putusan inkrah atau dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang inkrah karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara lima tahun atau lebih. ‘’Karena masih tersangka, tentu tidak ada pengaruh terhadap kedudukan Pak Nov (Setya Novanto) selaku ketua DPR,’’ tutur Johnson, kemarin. 

Disisi lain, Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Sufmi Dasco Ahmad mengaku pihaknya tidak bisa bersikap proaktif terhadap Novanto yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Pasalnya, itu sudah masuk ke ranah hukum.

Namun, jika menyoal pada pelanggaran etik dengan adanya pertemuan-pertemuan di luar jam kerja, mereka tidak bisa memproses. Sebab, pertemuan yang disebut dalam dakwaan tersangka kasus e-KTP Irman dan Sugiharto, terjadi di masa lampau. Atau dalam artian, tidak terjadi di periode DPR 2014-2019. 

Alasannya, MKD sama dengan alat kelengkapan dewan lainnya yang masa kerjanya sesuai periode yang berlaku. ‘’Pelanggaran lalu nggak bisa kita proses sekarang. Kita kan memproses pelanggaran etik yang dilakukan pada saat ini,’’ tegas Dasco.

Sementara itu, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar saat menghadiri acara fraksinya di DPR kemarin menyatakan, pihaknya khawatir citra parlemen menurun dengan pucuk pimpinannya dijadikan tersangka korupsi. 

Memang dicopotnya Novanto menjadi salah satu opsi, tapi harus sesuai mekanisme yang ada. Akan tetap dia menyarankan agar pimpinan DPR dan seluruh pimpinan fraksi segera berkumpul mengatasi persoalan tersebut dengan mencari jalan atau mekanisme agar tidak berdampak pada kinerja dan citra parlemen. ‘’Makanya kita undang pimpinan untuk segera undang fraksi-fraksi melakukan pembicaraan ini,’’ saran pria yang akrab disapa Cak Imin itu.

Pakar Hukum Tata Negara Mahfud MD berpendapat, Novanto memang secara etika lebih baik mundur dari jabatanya. ‘’Agar tidak menganggu DPR secara lembaga, secara etis mungkin bagus mundur juga,’’ ujarnya.

Namun jika secara yuridis, tidak bisa dipaksakan ketua umum Partai Golkar itu dilengserkan dari jabatannya di DPR. Sebab, perlu ada putusan inkrah dari pengadilan. ‘’Kalau yuridis menunggu inkrah dan itu lama. Satu tahun sampai inkrah malah lebih kali. Mau pemilu juga kan,’’ pungkas Mahfud.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menambahkan, roh penegakan etis DPR sesungguhnya adalah bagaimana menjaga harkat dan martabat lembaga parlemen agar tetap terhormat. Oleh karena itu, setiap anggota DPR diharuskan untuk berperilaku etis agar wibawa DPR sebagai lembaga terhormat terjaga. 

Dalam konteks menjaga harkat dan martabat itu lah semestinya perlu menempatkan kasus penetapan Novanto sebagai tersangka dalam kerangka menjaga marwah parlemen, maka yang harus dipertimbangkan bukan kepentingan satu dua orang elit parpol ataupun di DPR. Kepentingan seluruh bangsa yang hendaknya menjadi bahan pertimbangan. 

Atas pertimbangan itu, menurut Lucius, Novanto tak perlu menunggu proses resmi untuk memutuskan pengunduran diri. ‘’Pemimpin beretika akan memikirkan kepentingan publik luas, ketimbang mempetahankan jabatan hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok saja,’’ kata dia.

Lucius berpendapat, tuntutan etika jabatan mestinya tak hanya dilakukan dengan tunduk pada aturan semata. Akan tetapi lebih pada kesadaran diri untuk menyadari tingkah lakunya dalam kaca mata kepentingan bangsa.

Jadi, keputusan mengundurkan diri bagi Novanto merupakan memperlihatkan kualitas moral pribadinya sebagai pemimpin. ‘’Jika dia ngotot bertahan padahal status tersangka mengganggu kinerjanya dalam mewakili kepentingan publik, maka sesungguhnya Novanto tak pantas menjadi pemimpin,’’ kritik Lucius.

Jika atas kesadaran diri sendiri Setnov tidak bersedia mundur, maka MKD yang merupakan alat kelengkapan khusus yang berfungsi untuk menyelidikki dugaan pelanggaran etik anggota DPR, harus bisa mengambil inisiatif. Dalam Tata Beracara MKD Pasal 1 ayat 15, MKD dimungkinkan untuk memproses sesuatu tanpa perlu menunggu aduan. Lagi-lagi acuannya adalah kepentingan publik. 

Jadi dengan pertimbangan kepentingan yang lebih luas, mestinya MKD juga bisa mengambi inisiatif untuk menyelidikki dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Novanto yang membuatnya menjadi tersangka. ‘’Singkatnya keputusan terkait Novanto sekaligus menjadi ujian seberapa anggota MKD khususnya dan DPR umumnya berpikir untuk kepentingan bangsa daripada untuk kepentingan Novanto semata,’’ pungkas Lucius.(dna/jpnn)


Sumber: jpnn

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement