Mempertahankan Kebersihan Hati

MUTIARA JUMAT, Oleh : HM. Syukron Maksum, Khadim Pondok Pesantren Al-Ishlah Kuala Jambi


Jumat, 24 Februari 2017 | 19:50:28 WIB



HM. Syukron Maksum
HM. Syukron Maksum DOK/NT

Advertisement


Advertisement

eNewsTimE.co - Rasulullah SAW pernah bersabda: “Di dalam tubuh itu ada segumpal daging, yang apabila ia baik, maka baiklah seluruh tubuh dan apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah segumpul daging itu adalah hati.”

Dalam pertanggungjawaban terkait amal manusia, Allah menghukum bukanlah hanya amal lahiriah dalam bentuk perbuatan yang jelek saja, tapi juga niat yang jelek yang tersembunyi di dalam hati. Al-Qur’an Surat Al-Isra’ ayat 36 menjelaskan:“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”

Jadi, jangan pernah mengira jika kita punya niat yang jelek itu tidak dimintai pertanggungjawaban. Semuanya akan kita tanggung akibatnya. Untuk itu kita perlu berhati-hati dan waspada.

Hati akan senantiasa berubah-ubah, sebab makna hati, yakni qalbu dalam bahasa Arab, memang berarti membalikkan, mengubah, mengganti. Maka jangan heran jika hati kita bisa berubah, berbalik dengan cepat mengenai pandangan terhadap suatu hal. Imam Ja’far Shadiq menyebut perubahan hati itu ada empat.

Pertama, hati yang tinggi. Tingginya hati ini ketika berzikir kepada Allah SWT. Kalau orang senantiasa berzikir kepada Allah, hatinya akan naik ke tempat yang tinggi.

Kedua, hati yang terbuka. Hati ini diperoleh jika kita ridha kepada Allah. Ketiga, hati yang rendah, terjadi ketika kita disibukkan oleh hal-hal selain Allah. Dan yang keempat adalah hati yang mati atau hati yang berhenti. Hati ini terjadi ketika seseorang melupakan Allah sama sekali. Na’udzubillah.

Oleh karena itu untuk menjaga agar hati kita tetap hidup, maka kita harus senantiasa mengingat Allah. Allah berfirman dalam Surat Ar-Ra’d ayat 28: "(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.”

Dalam ayat itu disebutkan bahwa cara memperoleh ketenteraman hati adalah dengan berzikir kepada Allah. Tetapi ada syaratnya, yakni harus beriman. Orang yang tidak beriman tidak akan tenteram dengan berzikir. Begitu juga orang yang beriman, tidak akan bisa tenteram jika tidak berzikir.

Karena itu, jika kita mengaku sebagai orang yang beriman, jangan pernah mencari ketenteraman pada kekayaan, kemasyhuran, atau hal-hal duniawi lainnya. Tetapi ketenteraman itu hanya bisa diperoleh dengan berzikir kepada Allah. Dalam Surat Al-Fath ayat 4 Allah menjelaskan: "Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)…”

Sayyidina Ali kw pernah berkata, “Tubuh kita ini selalu melewati enam keadaan, yakni sehat, sakit, mati, hidup, tidur dan bangun. Begitu pula ruh. Hidupnya hati adalah berkat bertambahnya ilmu, dan matinya akibat tidak adanya ilmu. Sehatnya hati adalah berkat keyakinan, dan sakitnya hati karena keragu-raguan. Tidurnya hati adalah akibat kelalaian, dan bangunnya hati karena zikir yang dilakukan.”

Hati kita akan sakit jika timbul keragu-raguan. Misalnya, kalau kita menderita, kita sering mengeluh karena penderitaan itu. Kenapa saya menderita, sedang orang lain tidak? Saya sudah berdoa setengah mati dari dulu, tetapi mengapa masih tetap saja hidup susah? Apabila kita menyimpan prasangka-prasangka demikian, maka sebenarnya kita menderita penyakit hati.

Imam Al-Ghazali dalam kitab Bidayatul Hidayah mengingatkan kita untuk senantiasa membersihkan hati dari penyakit hati yang bisa melanda setiap orang. Imam Al-Ghazali menjelaskan, bahwa penyakit hati itu sangat banyak, diantaranya adalah:

Pertama, sifat hasad atau dengki. Sifat ini bersumber dari sifat kikir. Intinya ia akan senang jika melihat orang lain menderita, dan ia akan sangat susah jika melihat orang lain mendapatkan kenikmatan dari Allah. Rasulullah SAW mengingatkan bahwa dengki itu memakan kebaikan laksana api yang memakan kayu bakar. Maka dari itu kita perlu mewaspadai hal ini.

Kedua, sifat riya’, yang selevel dengan sum’ah. Riya’ dan sum’ah keduanya dilakukan untuk merekayasa kesan orang lain terhadap diri kita. Mungkin bahasa popular sekarang adalah pencitraan. Riya’ berarti mempertontonkan amal dan tindakan agar dinilai sebagai orang yang bertakwa. Sum’ah adalah memperdengarkan amal kebajikan agar dihitung sebagai orang yang baik. Keduanya dilakukan karena manusia, bukan karena Allah.

Sayyidina Ali kw mengatakan, “Ada empat tanda orang yang riya’ yaitu malas bila beribadah sendirian, rajin di depan orang banyak; bertambah amalnya bila dipuji, dan berkurang jika tidak ada yang memujinya.”

Penyakit hati yang ketiga adalah ujub, yakni berbangga diri. Merasa dirinya mulia dan hebat, dan menganggap orang lain rendah dan hina. Sifat ini adalah hasil dari kebiasaan senang berkata “saya” dan mengaku-aku akan kehebatannya. Seperti pengakuan iblis yang dijelaskan dalam Surat Al-A’raaf ayat 12:"..Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang Dia Engkau ciptakan dari tanah.”

Sifat ini sangat berbahaya dan merusak. Dalam suatu forum misalnya, ia akan merasa paling hebat, selalu ingin memimpin dan selalu berusaha tampil di depan. Adapun cara untuk melawan sifat ini adalah dengan menganggap orang lain lebih baik dari diri kita, sedangkan kita penuh kekurangan.

Ketiga sifat ini, juga penyakit-penyakit hati lainnya harus kita libas dari hati kita. Agar hati kita tetap bersih dan bisa memandang segala sesuatu dengan jernih. Mudah-mudahan dengan senantiasa mengingat Allah, kita terjaga dari penyakit hati. Dan kita diberi kemampuan oleh Allah untuk mempertahankan kebersihan hati dan mendapatkan ridha-Nya. Amin.


Penulis: HM. Syukron Maksum
Editor: BENI MURDANI
Sumber: eNewsTimE.co

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement