Dibalik Pangkas Impor Sapi Indonesia

Oleh: Legi Okta Putra


Minggu, 05 Februari 2017 | 16:12:01 WIB



Legi Okta Putra
Legi Okta Putra JAMBIUPDATE.COM

Advertisement


Advertisement

(Peneliti Kajian Peternakan ISMAPETI ‘Ikatan Senat Mahasiswa Peternakan Indonesia’)

Menjelang Hari Raya Idul Fitri, Indonesia memangkas impor sapi Australia menjadi 50.000 ekor untuk kuartal ketiga (Juli-September), dari jumlah impor kuartal kedua (April-Juni) sebesar 250.000 ekor, lihat berita viva.co.id tanggal 14 Juli 2015. Impor yang dilakukan saat ini hanya seperlima dari impor kuartal sebelumnya sehingga Dewan Eksportir Ternak Australia merasa kecewa terhadap keputusan pangkas impor pemerintah Indonesia tersebut.

Kementan mencatat realisasi impor sapi bakalan (belum digemukkan) selama Januari-Juni 2015 mencapai 298.861 ekor dan realisasi ini setara dengan 40% dari realisasi impor sapi bakalan di 2014 (Detik.com 13/07). Walaupun jumlah impor dalam setengah tahun ini hanya setara 40% dari tahun 2014 atau hanya 10% impor sapi yang dipangkas dalam setengah tahun. Namun, ini sudah membuktikan bahwa pemerintah mulai berupaya menekan impor sapi.

Investas Australia

Dibalik itu semua Australia tidak mudah melepaskan pasar daging Indonesia. Karena, selama ini dalam pemenuhan kebutuhan daging sapi, Indonesia selalu menggantungkan kebutuhannya ke impor (salah satunya Australia). Hingga membentuk kemitraan “Indonesia–Australia dalam Ketahanan Pangan di Sektor Daging dan Ternak Sapi (Indonesia–Australia Partnership on Food Security in the Red Meat and  Cattle Sector)”.

Menghadapi pangkas impor sapi Indonesia yang akan terjadi selanjutnya sesuai keinginan Muladno Ditjen PKH akan selalu berupaya menekan impor sapi Indonesia, dalam detik.com (13/07). Australia terus berupaya mencari cara agar pasar daging sapi Indonesia selalu dipegang atau didominasi perusahaannya, bahkan saat ini sudah mulai melakukan investasi sektor peternakan sapi di Indonesia.

Sebelumnya, mungkin hal ini sudah dikaji Pemerintah Australia. Sehingga Australia siap berinvestasi USD 10 juta di sektor peternakan sapi Indonesia. Bahkan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) pun telah dilakukan oleh kemitraan Indonesia – Australia pada Rabu (10/6/2015), di Gedung Suhartoyo BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) RI Jakarta, lihat Beritakotamakassar.com (11/06). Pelaksanaannya akan dilakukan di kabupaten Maros, Sulawesi Selatan dan mulai direalisasikan pada akhir September 2015.

Investasi Australia kali ini, ada kaitannya dengan impor daging sapi Indonesia yang mulai menurun di kuartal awal tahun 2015. Sesuai dengan catatan Trobos.com (4/6/2015) bahwa penurunan impor daging sapi Indonesia sebesar 31% pada periode Januari – April 2015 berdampak ke penurunan ekspor daging Australia sebesar 12.165 ton, dikutip dari  rilis resmi Meat and Livestock Australia (MLA) yang merupakan Lembaga Riset dan Pemasaran bersama Pemerintah Australia dengan Pelaku Industri Sapi.

Terjadi penurunan impor daging sapi saja, Australia sudah mendapat kerugian ekspor daging sebesar 12.165 ton. Apalagi ditambah memangkas impor sapi hidup oleh Pemerintah Indonesia, mungkin bisa mengganggu sampai perekonomian Australia. Hal inilah, yang mendasari Australia berani berinvestasi sektor peternakan di Indonesia agar selalu mendominasi pasar daging Indonesia.

Dampak Investasi Asing

Pasar Indonesia selalu menjadi target perusahaan asing. Bermacam cara dilakukan pebisnis luar negeri untuk masuk dalam persaingan pasar Indonesia. Salah satu caranya dengan investasi asing dan juga program MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) yang akan direalisasikan akhir desember 2015.

Jika Indonesia selalu bergantung pada investor asing, maka tidak akan menciptakan kedaulatan pangan secara mandiri untuk menghadapi MEA. Hal ini memang lapangan kerja terbuka lebar dan produksi daging meningkat, tetapi peternakan rakyat (yang mendominasi 90% peternakan Indonesia) akan hilang dan semangat untuk beternak rakyat juga akan berkurang. Sementara Pemerintah hanya memikirkan cara memenuhi kebutuhan daging dalam negeri melalui investasi asing. Celakanya, kehidupan peternak kecil dipertaruhkan.

Karena investasi asing yang diterima akan berdampak negatif pada Indonesia, seperti beberapa pespektif Nuraini (2014) adalah perusahaan asing menguasai pasar lokal, operasional pasar diatur pengusaha asing, bagi hasil yang tidak seimbang dengan kerusakan alam yang ditimbulkan, manajemen perkembangan produksi sulit diawasi, memperburuk prospek pertumbuhan ekonomi jangka panjang, dan memonopoli usaha dan kekuasaan.

Kita lihat peternakan rakyat/kecil Indonesia yang skala kepemilikannya 3-4 ekor/peternak (Muladno Ditjen PKH), tidak dapat bersaing dengan investor asing karena peternak kecil menghabiskan banyak waktu (tidak efektif dan efisien) untuk menghasilkan produksi ternak dalam jumlah sedikit. sedangkan investor asing yang memiliki teknologi modern akan lebih efektif dan efisien dalam menghasilkan produksi ternak dalam jumlah banyak. Sehingga pasar lokal Indonesia dimonopoli oleh perusahan asing (investor asing). Sementara peternak kecil Indonesia akan rugi di pasar mereka sendiri.

Pemberdayaan Pejabat Negara/Daerah

Pemerintah semestinya selalu menjaga, mengembangkan dan mempertahankan keberlangsungan peternak kecil bukan memperbanyak industry dari investasi asing. Karena dari sabang sampai marauke, setiap pelosok atau perkotaan, peternakan rakyat selalu ada. Sehingga pemerintah harus mempertimbangkan hal ini dalam menerima investasi asing. Menurut kami jika investor asing diterima, mngkin bisa di arahkan untuk perkembangan peternak kecil. Tetapi jarang sekali investor asing yang mau berinvestasi dengan sistem yang susah dikontrolnya.

Oleh karena itu, investor asing harus dihentikan!!! Indonesia tidak perlu bergantung pada investor asing yang akhirnya merugikan Indonesia terutama peternak kecil. Banyak cara yang dapat dilakukan pemerintah dalam membangun peternakan melalui investasi dalam negeri. Salah satu caranya yaitu dengan memberdayakan pejabat negara atau daerah sebagai investor dalam negeri.

Pejabat negara/daerah memiliki penghasilan setiap bulan yang melebihi kebutuhan hidupnya, yang hanya selalu disimpan atau tidak dipakai, mungkin dapat di investasikan ke pemerintah dengan cara mengangsur dalam jangka waktu tertentu sampai jumlah yang ditentukan. Sehingga pemerintah dapat mengelola uang tersersebut tanpa perlu mencari investor asing atau menambah hutang negara.

Sementara peternak kecil dapat dididik melalui Sekolah Peternakan Rakyat seperti yang di nyatakan Muladno Ditjen PKH (Trobos.com 1 Mei 2015). Namun, pemerintah juga harus memberikan motivasi atau pelatihan tentang investasi dalam sektor peternakan ke pejabat negara/daerah. Hal ini untuk meningkatkan keyakinan para pejabat negara, supaya tidak ragu-ragu dalam mengambil bidang investasi peternakan.

Kelebihan yang didapatkan dari sistem ini, yaitu kedaulatan pangan hewani secara mandiri peternakan rakyat dapat berkembang dengan program SPR dan peminjaman modal ke pemerintah, sedangakan investor dari pejabat negara/daerah dapat mendapatkan tambahan penghasilan, dan pemerintah tidak menambah hutang negara yang sudah mebludak sampai saat ini.

(*)


Sumber: JAMBIUPDATE.COM

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement