Interaksi Artifisial Dunia Maya

Oleh: Nabhan Aiqani


Minggu, 05 Februari 2017 | 16:15:05 WIB



Nabhan Aiqani
Nabhan Aiqani JAMBIUPDATE.COM

Advertisement


Advertisement

Era gawai atau Dunia Maya (virtual), seperti itulah penyebutan yang jamak di perbincangkan. Semua orang terkoneksi lewat satu piranti kecil seukuran genggaman tangan. Walaupun ada yang lebih besar, tak mengapa yang penting bisa saling “cuit-cuitan”, barang sejenak dengan warga “kompleks” dunia maya. Ukuran bukanlah masalah.

Harap mafhum bila “kompleks” ini, telah banyak digandrungi para “penghuni” baru. Semua beralih untuk saling berlomba-lomba memperindah tampilan “cluster”. Dunia nyata (realitas) perlahan kehilangan penduduk, migrasi besar-besaran tengah terjadi.

Disorientasi Interaksi Sosial

Murdiyatmoko dan Handayani (2004:50) menyatakan bahwa “interaksi sosial adalah hubungan antar manusia yang menghasilkan suatu proses pengaruh-mempengaruhi yang menghasilkan hubungan tetap dan pada akhirnya memungkinkan pembentukan struktur sosial.

Merujuk kepada definisi diatas, hubungan antar manusia terlaksana bila ada proses interaksi yang bersifat intens dan kontinu yangpada akhirnya, mengantarkan menuju lingkungan sosial yang bersifatemosional. Kedekatan, kekerabatan, dan latar belakang sejarah menjadi penguat manusia untuk menghimpun diri, sehingga secara sadar membentuk pranata-pranata dan institusi sosial. Dimana semuanya dilandasi oleh kesadaran kolektif untuk hidup bersama.

Dalam sejarahnya juga, interaksi sosial telah dimulai jauh sebelum manusia mengenal peradaban. Sebagaizoon politicon, kita tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan manusia lainnya. Semua aspek dalam kehidupan berkaitan erat antara satu entitas individu dengan yang lain. Peleburan individu satu dengan individu lain inilah yang kemudian meluas hingga akhirnya muncul satu entitas penduduk, dari skala kecil seperti masyarakat lokal atau suku (tribe) hingga Negara. Bahkan seorang pemikir “sinis (aliran filsafat yunani)”, Diogenes, menegaskan ide tentang Masyarakat Dunia (cosmopolitan society). 

Namun, Interaksi sosial manusia sebagai makhluk sosial (Homo Socius) tidak lagi seintens dulu. Semua serba mudah, tanpa perlu bersusah payah, apapun yang menjadi kebutuhan konsumen terpenuhi dalam sekejap. Dunia nyata, tempat dimana interaksi sosial berlangsung menjadi semakin gelap dan kusam. Rumah-rumah penduduk yang dtinggal migrasi, penuh rayap dan lapuk.

Kata kunci dari pergesaran nilai-nilai sosial dalam masyarakat ialah teknologi. Disadari ataupun tidak Menurut Filsuf Frans Magnis Suseno, Kebudayaan Teknologis Modern merupakan sesuatu yang kompleks. Kebudayaan itu kelihatan bukan hanya dalam sains dan teknologi, melainkan dalam kedudukan dominan yang diambil oleh hasil-hasil sains dan teknologi dalam hidup masyarakat: media komunikasi, sarana mobilitas fisik dan angkutan, segala macam peralatan rumah tangga serta persenjataan modern. Hampir semua produk kebutuhan hidup sehari-hari sudah melibatkan teknologi modern dalam pembuatannya.

Sehingga dapat diartikan, menyusupnya teknologi dalam hampir seluruh aspek kehidupan mengakibatkan pergeseran nilai-nilai sosial dan kebudayaan (social and culture value). Manusia yang pada awalnya belum mengenal teknologi modern yang canggih, mulai beralih dan lambat laun menyingkirkan tenaga manusia itu sendiri.

Pun dengan gadget, teknologi canggih yang sedang jadi “primadona”, bukan rahasia lagi perangkat elektronik ini wajib ada pada kehidupan manusia modern saat ini. Anda akan disebut gak gaul bila tidak memiliki satu. Mengapa demikian? Tentu semua tahu, bila arus informasi “berseliweran” bak lalu lintas yang padat merayap, semuanya berjubel tanpa ada yang membatasi, sebentar saja tidak update, Anda akan kehilangan puluhan bahkan ratusan informasi.

Di ruang ruang publik sangat jamak dilihat, tidak hanya tertumpuk pada satu kalangan saja, namun meluas hingga menyentuh semua kalangan, tua maupun muda. Kedai kopi, caffe kecil ataupun mewah di pinggir jalan menyediakan akses wifi gratis sepuasnya bagi pengunjung. Tak ada toleh-menoleh, yang ada hanya duduk termangu melihat kepada layar kecil yang tidak seberapa. Tidak peduli apa yang terjadi di sekitarnya, toh dunia maya (virtual) lebih menjanjikan ketimbang untuk sekadar saling menyapa dan bercerita sejenak tentang nostalgia dan cerita kehidupan.

Harusnya pergeseran nilai seperti ini, jangan sampai membuat sisi humanis manusia menjadi hilang (dehumanisasi). Lantas, apa bedanya kita dengan makhluk lain bila sensitifitas itu tidak ada lagi. Teknologi (Gadget) terbukti mampu menginternalisasikan nilai-nilai yang kemudian menjadi stimulus dalam pikiran dan ditanggapi oleh alam bawah sadar manusia, bahwa apa yang dilakukannya saat itu sudah benar.

Bukti sahih pengaruh buruk teknologi (gadget), dapat dilihat dari dua kasus tersebut. Chen Jung-yu, pria yang bekerja di Northern Taoyuan Cable TV sebagai teknisi, meninggal dunia akibat bermain game online13 jam non stop. Kejadian ini bukanlah yang pertama. Pada Mei tahun lalu, seorang gamer bernama Cris Stanifort (20) meninggal dunia, setelahbermain dengan konsol game Xbox selama 12 jam.

Arti hubungan sosial

Lalu, di mana wajah yang dalam gagasan filsuf Emmanuel Levinas (1906-1995) dipandang sebagai syarat utama perjumpaan? Bagi Levinas, hidup bersama adalah hidup yang terus bedenyut dengan pertemuan antarwajah. Demikian pula dengan keseharian kita. Kekariban sesungguhnya terwujud atas dasar muka bertemu muka. Ekspresi dan emosi yang terpancar di raut wajah adalah bagian paling inti dari relasi persahabatan (Damhuri Muhammad, 2015).

Dengan demikian, sosialisasi yang terbangun melalui perjumpaan agaknya merupakan faktor penting (pivotal factor) untuk menciptakan keakraban dan kekariban masyarakat menjadi padu dan mekanis.Solidaritas yang nantinya terbangun menjadi penyambung antara individu satu dengan yang lain. Masyarakat hidup dalam lingkungan sosial yang kuat dan kental. Sehingga, masalah yang muncul selalu diselesaikan melalui jalan musyawarah bersama, pun sebaliknya kebaikan dan kebermanfaat akan terasa dimiliki oleh semua orang. Tanpa ada yang merasa dirugikan, hidup yang dijalani menjadi begitu berarti dan selalu menjadi sumber “mata air” kebaikan bagi sesama.

Epilog

Kesimpulannya, gawai, gadget, smartphone atau apapun namanya tidak dapat dibantah telah menjadi bagian integral kehidupan manusia modern. Menjadi bagian dari masyarakat dunia maya (virtual) adalah suatu keniscayaan. Itu baik, dan tidak ada yang melarang. Perlu diingat saja, kecanduan yang berlebihan malah membuat diri lupa dan terlena dengan kesenangan, lingkungan sosial dan interaksi semu. Dunia yang sebenarnya tengah menunggu anda untuk menghasilkan banyak perubahan berarti. Jadi, jangan sia-siakan waktu. Toh, teknologi adalah suatu yang artifisial, lambat laun memudar. Sesuai dengan namanya, dunia maya (digital), dan maya itu adalah semu. Ada namun tiada.

*Nabhan Aiqani

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Unand berdomisili di Kerinci


Sumber: JAMBIUPDATE.COM

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement