Dilema WNI Eks ISIS



Kamis, 13 Februari 2020 | 22:42:07 WIB



M. Arif Musthofa
M. Arif Musthofa ISTIMEWA/NT

Advertisement


Advertisement

eNewsTimE.co - FENOMENA hengkangya para pengikut Islamic State Of Iraq and Syria atau yang lebih dikenal dengan ISIS, makin mempertegas ketidakpastian posisinya. ISIS menarik pengikut dari berbagai Negara dengan ajakan melalui berbagai cerita bohong untuk bergabung dan iming-iming mimpi untuk hidup dengan sejahtera dibawah kekuasaan 'Daulah Islamiyah', namun impian dan harapan mereka pupus karena apa yang dijanjikan sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan.

Islamic State Of Iraq and Syria melakukan pencucian otak terhadap seluruh simpatisannya dengan propaganda yang dilakukan lewat berbagai media,  mereka memposisikan diri sebagai Negara islam superior yang mampu memberikan jaminan hidup dan kedamaian. Namun ditengah runtuhnya ISIS dan terbongkarnya kebohongan mereka, banyak simpatisan yang tunggang langgang mulai meninggalkan dan menyadari kesalahan yang dilakukan sebelumnya bergabung dengan ISIS.

Disatu sisi menurut Pasal 28D  UUD ayat 1 tentang hak dan kewajiban warga Negara, hak warga Negara adalah untuk mendapat perlindungan dari Negara tersebut, selama mereka masih berstatus WNI, maka negara harus memberikan perlindungan. Karena hal tersebut merupakan amanat konstitusi.

Namun kenyataanya hampir semua anggota ISIS membakar Paspor dan mendeklarasikan diri secara sukarela dan bersumpah setia pada ISIS saat masuk menjadi simpatisan. Hal ini tentu saja secara tidak langsung menghilangkan statusnya sebagai Warga Negara Indonesia (WNI).

Proses pemulangan WNI eks ISIS juga dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan. Dalam Pasal 23 disebutkan seseorang kehilangan kewarganegaraan karena sukarela masuk ke dalam dinas atau tentara asing serta bersumpah setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing, hal ini menjadi dilematis ditengah kesadaran WNI eks ISIS dinilai telah terlanjur bergabung dan haknya sebagai warga Negara secara tidak langsung tidak diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Anak-anak  WNI eks ISIS kewarganegaraannya akan otomatis hilang, sebab Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan menganut asas ius sanguinis (law of the blood), yaitu penentuan kewarganegaraan berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran. Namun, mengenai anak-anak eks ISIS memang menjadi hal yang kompleks. Bisa jadi mereka tidak kehilangan kewarganegaraannya, tapi jika mereka masih WNI pun bisa terpisah dengan orang tuanya. Belum lagi, meski masih anak-anak, tapi sudah didoktrin keyakinan radikal versi ISIS.

Dalam aspek social WNI Eks ISIS memiliki ikatan mental dengan masyarakat di Indonesia terutama keluarga WNI tersebut, dimana budaya orang timur yang sangat menjunjung tinggi gotong royong dan menghargai hubungan keluarga. Hal tersebut mungkin dapat dijadikan pertimbangan untuk menerima dan merehabilitasi WNI eks ISIS tersebut, namun tidak menutup kemungkinan pulangnya WNI tersebut mampu memberikan efek buruk terhadap Indonesia. Misalnya jika di pulangkan akan di rehabilitasi dimanakah mereka, ditambah lagi masyarakat cenderung trauma dengan sebutan teroris yang disematkan kepada para simpatisan ISIS tersebut. Dan besar kemungkinan  masyarakat cenderung menjauhi para simpatisan tersebut.

Disisi lain WNI eks ISIS bisa juga dikatakan sebagai korban penipuan yang dilakukan ISIS terhadap semua simpatisanya. Atas iming-iming dan bujuk rayu diberikan harta yang melimpah dan jaminan keberlangsungan hidup untuk bergabung.

Tentu saja akan banyak sekali pertimbangan. Tapi yang paling penting adalah keamanan rakyat dan keamanan nasional, Jangan sampai keinginan mereka pulang hanya sekedar pragmatism untuk diam-diam lagi mengembangkan ISIS versi lain di Indonesia dengan menyebarkan paham radikal, atau melakukan hal-hal yang bertentangan hokum.

Seperti apa yang diutarakan oleh Menkopolhukam Profesor Mahfud Md “pemerintah cenderung menolak memulangkan para WNI yang ada di Suriah itu karena terlibat dalam ISIS. “Kecenderungannya tidak dipulangkan, tetapi bagaimana menyusun formulasi hukumnya. Kecenderungannya kami ini, tidak mau memulangkan karena itu berbahaya,” ungkap Menkopolhukam Profesor Mahfud MD kepada salah satu media masa.

Tentu tidak mudah mengembalikan WNI eks ISIS.  Dikarenakan faham radikal mereka yang sangat mengakar dalam fikiran. Oleh karena itu dibutuhkan waktu dan kondisi yang memungkinkan untuk beradaptasi, sekaligus untuk mereduksi  traumatis,  dan pola penyebaran faham yang dapat membahayakan keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini pemerintah diharapkan untuk menjalankan amanat konstitusi tanpa mengesampingkan resiko terburuk, Jika saja WNI eks ISIS tersebut dipulangkan ke indonesia.(*)

Penulis : M. Arif Musthofa M.Pd.I (Dosen STIES Al-Mujaddid)


Penulis: M. Arif Musthofa
Editor: BENI MURDANI
Sumber: eNewsTimE.co

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement