Jurnalis Seutuhnya, Adalah Emas



Jumat, 17 Agustus 2018 | 14:45:49 WIB



Nurdin Manessa, SE (Pegiat Pers dan Demokrasi)
Nurdin Manessa, SE (Pegiat Pers dan Demokrasi) Document eNewsTime.co

Advertisement


Advertisement

 

HALO kawan-kawan pewarta ?.......Tahukah kita, bahwa Jurnalis atau wartawan, adalah pekerja profesi di dunia pers yang bertugas dilini terdepan dalam berburu sumber-sumber pemberitaan. Pengertian jurnalis yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, adalah seseorang yang melakukan kegiatan secara teratur menulis berita (laporan) dan tulisannya dikirimkan atau dimuat di media massa secara teratur.

Selain dituntut bekerja profesional, jurnalis juga dituntut cakap dan berani menulis dalam menyajikan berita yang berimbang, tidak berita plagiat (copypaste), ber-opini, menggiring, tendensius, dan beritanya terkonfirmasi dengan baik kepada pihak-pihak yang menjadi objek pemberitaan. Inilah kunci akurasi pemberitaan yang benar dan berkualitas sebagaimana diatur dalam kode etik pers dan hatrus memenuhi unsur-unsur penulisan berita, yaitu  5 W, 1 H (Who, What, Where, When, Why dan How) .  

Profesi wartawan, bukanlah  pekerjaan yang gampang karena  selain harus cakap menulis berita, mereka juga wajib mempertanggungjawabkan konten beritanya.  Berita yang disajikan harus  mengedukasi, mendidik, melahirkan kebenaran dan kemerdekaan, kenyamanan, mengungkap, memberi  informasi kepada  masyarakat luas. Akurasi berita tentu akan berefek baik terhadap citra diri jurnalis maupun perusahaan pers.

Siapa yang berani dan mampu melakukan ini, dialah seorang  Jurnalis Seutuhnya dan  no Copy Paste dan Plagiat. Jurnalis yang tidak utuh tentu selalu memantik munculnya berita-berita Hoax, berita-berita sampah dan berita tidak bermutu. Setiap berita itu harus bisa dipertanggungjawabkan kebenaran dan akurasinya.

Wartawan profesional adalah wartawan yang punya  citra diri dan harga diri, kalau tidak maka profesi wartawan akan  tergilas dan mati suri. Karena perkembangan media sosial saat ini semakin tidak terbendung dan tumbuh subur seperti “pohon ubi” dan sangat konpetifif. Penulis profesional harus bermental baja, berani dalam menginvestigasi data untuk menyajikan berita berkualitas.

Bermunculannya media-media sosial mestinya semakin memberi peluang para jurnalis untuk mengembangkan karier profesi. Tetapi saat ini, justru  terjadi pada sebagian jurnalis. Seolah-olah tidak bisa berkarier panjang di media-media sosial. Media sosial sepertinya tidak memberi ruang pada jurnalis untuk menulis lebih baik, karena keterbatasan waktu untuk menulis lebih berbobot, tetapi itu juga bukan alasan mendasar kenapa wartawan tak bisa berbuat. Berita-berita medsos lebih cendrung kepada berita-berita informatif yang minim kajian dan hasil investigasi. Inilah kelemahan. Sehingga wartawan semakin hari semakin malas bergerak dan mencari sumber-sumber berita yang baik, berita investigasi, karena keterbatasan waktu, dan hanya bisa dilakukan media cetak.     

Inilah yang membedakan wartawan medsos dengan wartawan media cetak.  Kehadiran media sosial belakangan ini, telah memberi pengaruh luar bisa. Pangsa pasar pembaca media mainstream (koran, TV dan Radio) terus tergerus pasarnya. Kita akui, bahwa medsos telah memanjakan pembaca, dan memberi  layanan  instan, cepat dan memberi kemudahan mengakses berita.

Tetapi percayakah. Medsos bisa bertahan hidup atau justru sebaliknya ?!.. Persoalan ini juga tetap bergantung dari sikap profesionalitas jurnalis. Berita hoax atau berita tidak bermutu (berita sampah), jelas akan membunuh karier dan citra diri jurnalis.

CCO Tempo Media Group, Wahyu Muryadi,  saat memberi materi pembekalan di Forum Jurnalis SKKMigas di Bangka (Senin, 13/8/2018), juga mengatakan hal yang sama.  Berikut kutipannya “Anda sembrono menyebut nama orang, umur atau skala ukuran-ukuran yang tidak benar makan akan kehilangan daya jual. Berita tidak benar jelas melanggar kode etik”.

Menurutnya, tidak saja itu dalam suatu kasus misalnya, penyebutan angka-angka dari pantauan jumlah kosentrasi massa di lapangan, minimal penyebutan angka harus  mendekati akurasi apa yang disampaikan dalam pemberitaan. Kesalahan sekecil  apapun dalam penyajian data-data di berita akan mempengaruhi kepercayaan pembaca. 

Mampukah kita (jurnalis) bersaing dan hidup sejahtera dalam pesatnya perkembangan dan kemajuan informasi saat ini. Wartawan yang profesional tentu diwajibkan lahir dari rahim bermental baja dari seorang ibu (perusahaan pers) yang bermental baja pula. Kalau tidak, akan sama-sama mati dan terkubur dalam-dalam.    

Kemerdekaan wartawan seutuhnya tetap  harus selaras dan sejalan dengan kemajuan media informasi. Wartawan seutuhnya itu, adalah wartawan yang mampu hidup walau dalam tekanan dan keadaan badai apapun.  Pesatnya kehadiran  media sosial dalam 10 tahun belakangan ini,  mestinya tidak harus mengurangi sikap mental dan profesionalitas  jurnalis. Jurnalis profesional, berintegritas,  dan bermental baja adalah jurnalis yang bisa mendatangkan sumber kemakmuran, baik bagi masyarakat maupun buat perusahaan pers.   

Walau pasar pembaca atau pasar media cetak banyak beralih ke media sosial. Mestinya  jurnalis media mainstream jangan ikut terpengaruh hingga beralih menjadi  penulis di  media sosial.   Beberapa pakar media beranalisa dan berpendapat, bahwa kekuatan pasar media mainstream masih tetap kuat. Alasannya, yaitu kualitas dan akurasi pemberitaan media mainstream  jauh lebih baik dibanding dengan media online (medsos). Karena proses penerbitan berita media cetak (koran) sudah melalui proses editing yang ketat, mulai dari redaktur sampai ke Pimred. 

Menyikapi persoalan ini, mestinya perusahaan pers harus mampu membaca tren dan keinginan pembaca.  Berita-berita  hoax yang seolah-olah selalu muncul di media-media online (medsos), seharusnya media mainstream menjadikan sebagai peng-counter dari berita hoax. Ironisnya, media cetak yang memiliki waktu banyak untuk menyajikan berita-berita berkualitas, berita-berita invetsigasi tetapi justru tidak dilakukan ditengah kompetisi media semakin ketat.

Tren saat ini, wartawan terlihat lemah dalam melakukan peliputan investigasi terhadap beberapa persoalan, isu yang muncul ke publik, dan jurnalis cendrung melakukan meliputan secara bergerombol (berkelompok). Lemah dalam dalam melihat sisi lain dalam suatu kasus. Semestinya wartawan seutuhnya itu tidak mengandalkan data-data dari teman, tetapi memperdalam data yang didapat secara sendiri melalui upaya investigasi. 

Belum lagi, wartawan yang malas menulis dan hanya mengandalkan berita dari teman, lalu  tinggal copy paste dan hanya merubah redaksionalnya pada lead berita (lead adalah redaksional alenia pertama pada berita). Persoalan kinerja jurnalis saat ini, hampir merata terjadi di berbagai daerah. Ini terjadi, karena mungkin akibat proses rekrutmen menjadi wartawan di sebuh perusahaan pers dilakukan secara tidak profesional dan prosedural.  Wartawan yang tidak mengedepankan sikap profesional dan etik pers tentu akan berpeluang membuat  berita hoax karena berita yang mereka terbitkan tidak melalui proses yang benar. Profesi wartawan, adalah pekerja profesional yang dituntut memberi keseimbangan informasi dalam dunia kehidupan. Kita patut berbangga bahwa Jurnalis, dikenal salah satu pilar atau mitra pemerintah dalam membangun negeri ini,  dan dalam sejarah kemerdekaan Indonesia,  juga tidak terlepas dari peran para jurnalis.  

Jadilah wartawan seutuhnya dan jangan pernah berhenti menulis dan menggali informasi. Banyak tokoh pers dunia yang tumbuh dari perjuangan menegangkan, dan itulah resiko kita sebagai jurnalis. Tapi kita harus tahu, bahwa keberhasilan suatu pekerjaan, semua memiliki resiko dan tanggungjawab. 

Beberapa tokoh pers nasional dan international yang peran jurnalisnya masih dikenang sampai sekarang, diantaranya, John Peter Zenger jurnalis New York Weekly Journal pada tahun 1700-an. Dia menulis hal-hal tak menyenangkan tentang pemerintah Inggris, dan 1735 ia ditangkap dan di adili atas pencemaran nama baik. Dia dinyatakan tidak bersalah, karena apa yang ditulisnya didasarkan pada kenyataan (fakta).  Ada jurnalis Mochtar Lubis, lahir di Padang, Sumatera Barat, 7 Maret 1922 dan wafat di Jakarta 2 Juli 2004. Dia adalah jurnalis sekaligus pengarang ternama dan pendiri Harian Indonesia Raya. Pada rezim Soekarno, ia selalu mengkritisi kebijakan pemerintah dan akhirnya dia juga dijebloskan ke penjara selama 9 tahun, dan bebas tahun 1966.         

Tokoh-tokoh jurnalis pantas kita jadikan panutan. Semengat jurnalisnya begitu membaja, padahal di era tersebut belum ada payung hukum (UU Pers) buat mereka dalam mengemban tugas jurnalis. Lalu kenapa sebagian  jurnalis muda kita, yang nyata-nyata punya payung hukum dalam bertugas, justru tidak seperti semangat para tokoh-tokoh pers sebelumnya. 

 


Penulis: Nurdin Manessa
Editor: Beni Murdani, SE
Sumber: Penulis

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement