MUARASABAK, eNewsTimE.co - Kenapa belakangan ini pemerintah begitu serius memperhatikan lahan gambut. Kalau merujuk dari judul tulisan ini, Tanah Gambut “Bukan Ciptaan Tuhan” pemerintah dianggap terlalu berlebihan. Kenapa? Lahan gambut itu, bukan tanah organik, tetapi tercipta akibat proses pendangkalan rawa, danau akibat tumpukan pohon, daun dan material tanaman lainnya yang membusuk puluhan tahun, bahkan ratusan tahun.
Sepanjang sejarah keberadaan lahan gambut, dulu kurang mendapat perhatian masyarakat karena sulitnya melakukan budidaya, dan tidak semua tanaman bisa tumbuh subur seperti lazimnya di tanah organik. Hanya tanaman tertentu yang mampu tumbuh subur. Kalaupun ada tanaman lain, itupun harus melalui pengelolaan lahan gambut secara benar dan tepat dengan tetap menjaga ekosistemnya.
Dulu sebagian masyarakat menganggap, bahwa tanah gambut adalah tanah yang tidak subur untuk bercocok tanam. Hingga banyak lahan-lahan gambut diterlantarkan, menjadi hutan yang tidak tersentuh dan dibiarkan menjadi lahan tidur. Belakangan, seiring pesatnya pembukaan perkebunan sawit, ternyata lahan gambut bisa dijadikan lahan perkebunan sawit, dan perkebunan lainnya yang bernilai ekonomi tinggi.
Persoalannya, tidak semua masyarakat yang mampu membuka perkebunan sawit di lahan gambut, selain besarnya biaya pembukaan lahan, penggarapan lahan gambut juga memiliki medanbegitu sulit. Tanahnya lembut, dan juga sangat mudah menimbulkan kebakaran hebat. Jika pembukaan lahan dilakukan dengan cara membakar, api bisa menjalar sejauh kedalam lahan gambut, hingga api sulit untuk dipadamkan.
Hanya perusahaan perkebunan besar yang mampu melakukan pengelolaan lahan gambut dengan teknik pembukaan lahan memakai alat berat. Itupun alat beratnya harus sesuai kontur atau kepadatan tanah, kalau tidak alat berat bisa tenggelam (amblas) ke dasar tanah.
Tidak terbantahkan. Kenapa perusahaan besar benar-benar menikmati hasil perkebunannya di lahan gambut. Jawabanya simpel saja, karena perusahaan besar memiliki cukup dana untuk melakukan pengelolaan ekosistem gambut dengan benar. Mulai dari pengadaan infrastruktur, seperti pembuatan kanal dan block kanal. Itu mereka lakukan tentunya sudah melalui rekayasa penelitian yang baik dan benar untuk keseburan perkebunannya. Dia tahu tanaman sawit itu butuh serapan air yang cukup, maka perusahaan selalu memperhatikan dan mempertahankan keseimbangan air di lahan gambut lokasi perkebunannya.
Sebagai perbandinga. Sampai sekarang, ada beberapa kasus budidaya di lahan gambut yang dilakukan masyarakat melalui program pemerintah, tetapi tanaman yang diharapkan itu mati, dan ini sudah dilakukan berulang-ulang dengan tanaman yang berbeda. Tetapi hasilnya juga sama. Persoalannya, ternyata lahan gambut tersebut sering terbakar (akibat kelalaian manusia). Hingga kandungan air lahan gambut sudah habis karena tidak adanya sistem penyuplai air yang cukup (kanal/block kanal).
Unik bukan, lahan gambut itu. Maka itu juga pemerintah berdalil, kenapa perhatiannya belakangan ini berlebih terhadap lahan gambut. Dari data yang ada, bahwa penyumbang bencana asap terbesar belakangan adalah akibat kebakaran hebat lahan gambut. Perusahaan, masyarakat ramai-ramai membuka lahan gambut dengan cara membakar. Alasanya cukup klise memang, mereka melakukan pembakaran lahan gambut dengan alasan efisiensi tanpa mempertimbangkan dampaknya.
Untung saja pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/KLHK (Menteri Siti Nurbaya) cepat bersikap dan mengambil langkah antisipasi. Hingga musim kabut asap hebat akibat kebakatan lahan gambut di tahun 2014 dan tahun 2015, tapi hampir tidak lagi terjadi selama tahun 2016.Ini patut kita apresiasi. Semoga saja untuk tahun selanjutnya demikian. Amin.
Sekedar kita ketahui. Bahwa lahan gambut yang merupakan bagian tak terpisahkan dari alam semesta ini,memang memiliki sumber penghidupan penting bagi semua manusia. Kini lahan gambut banyak dilirik para perusahaan, korporasi maupun perorangan untuk menguasaan pemanfaatan perkebunan maupun budidaya lainnya. Hanya saja lahan gambut tidak sebandel tanah organik, karena lahan gambut memiliki sensitivitas tersendiri dalam pengelolaannya.
Ekosistemnya harus benar-benar terjaga dengan baik, kalau tidak akan menimbulkan bencana alam yang luar biasa, kebakaran, banjir dan longsor. Lahan gambut bukanlah tanah organik, seperti tanah-tanah yang biasa kita lihat, seperti tanah liat, tanah merah atau tanah jenis organik lainnya. Dari hasil penelitian pakar gambut, disebutkan lahan gambut ada dan tercipta akibat proses pendangkalan, rawa, danau yang berada diantara sungai.
Jadi atas dasar itulah penulis mengilustrasikan, bahwa Tanah Gambut “Bukan Ciptaan Tuhan”. Tetapi terjadi akibat proses. Walau penulis menyadari dan memahami betul atas dasar keyakinan agama penulis, bahwa semua seisi alam semesta ini, ada karena ciptaan dan kuasa Tuhan. Itu pasti.
Sebagaimana definisi gambut itu sendiri, adalah material organik yang terbentuk secara alami dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi (senyawa tak stabil) tidak sempurna dan terakumulasi pada rawa. Dari penelitian Van De Meene 1984 yang kutip Noor 2001 disebutkan proses pembentukan dan perkembangan ketebalan hamparan gambut pada cekungan lahan basah, pertama pengisian danau dangkal oleh vegetasi lahan basah, kedua pembentukan gambut topogen, dan ketiga pembentukan kubah gambut ombrogen berada di atas gambut topogen.
Keunikan lain lahan gambut menurut para penelitinya, disebutkan bahwa setiap ketebalan satu meter, tanah gambut menyimpan sekitar 400 sampai 800 ton karbon (C) perhektar atau rata-rata sekitar 600 ton C ha¹m¹. Ini berarti bahwa lahan gambut dengan ketebalan 5 meter menyimpan sekitar 3.000 ton karbon. Untuk seluruh indonesia menurut peneliti diperkirakan tersimpang sekitar 37 sampai 55 giga ton karbon dengan lahan gambut yang ada di Indonesia seluas 7.863.626 hektar (sumber KLHK-2016).
Untuk Jambi dengan luas lahan gambut 929.203hektar (luas hutan Jambi 2.179.440 Ha) dengan rata-rata kedalamanya 3 meter hingga 12 meter. Provinsi Jambi, urutan ke tiga pemilik lahan gambut terbanyak se-sumatera setelah Riau dan Sumatera Selatan, dan urutan ke tujuh se-Indonesia. Dapat dibayangkan dan dihitung berapa besar kandungan karbon lahan gambut yang ada di Jambi. Khususnya pemerintah Jambi, jika tidak hati-hati dalam menjaga dan pengelolaan ekosistem gambut, tidak menutup kemungkinan akan terjadi kebakaran hebat pada lahan gambut akibat kandungan zat karbon (C).
Pada kedalaman muka air tanah lebih dangkal, tenahnya terlalu jenuh dan pada kedalaman air tanah lebih dalam, tanahnya terlalu kering sehingga tidak ideal untuk aktivitas mikroba, artinya pada kondisi ini proses dekomposisi terhambat, dan dapat berdampak pada penurunan emisi. Namun demikian, meskipun tingkat emisi pada muka air tanah yang dalam mengalami penurunan, kondisi gambut yang terlalu kering menjadi sangat mudah terbakar, sehingga resiko terjadinya emisi cukup besar. (Dariah et al.2011)
Dari analisa riset di atas, dapat kita perkirakan begitu mudahnya lahan gambut itu terbakar hingga sampai kedalaman lahan gambut akibat kandungan zat karbon yang begitu besar. Selain itu, lahan gambut ternyata secara hidrologis juga bisa berperan penting sebagai penyimpan air, karena dapat menyerap air 13 kali bobotnya. Untuk itu juga lahan gambut membutuhkan pengadaan kanal dan block kanal sebagai fungsi untuk menjaga keseimbangan air yang ada di dalam gambut.
Kalau lahan gambut tidak dilindungi sesuai sistem pengelolaannya, sudah dipastikan akan berakibat bencana. Maka itu Kementerian LHK mencoba menjalin hubungan kemitraan beberapa lembaga/NGO/LSM, dan stakeholder, agar program-program pemerintah terkait perlindungan dan pengelolaan ekositem gambut tetap terjaga dengan baik.
Perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut yang benar juga akan berdampak baik terhadap budidaya. Tidak sedikit masyarakat yang sudah berhasil melakukan budidaya di kawasan gambut, baik tanaman hortikultura maupun ternak ikan. Manfaat lain dari ekosistem gambut, yaitu bisa menjadi lahan penelitian (pendidikan), potensi wisata, pengendali banjir dan suplai air, serta keanekaragaman hayati.
Sebagai bahan ilustrasi. Penulis yang kini konsen melakukan pendampingan di Desa Jati Mulyo, Kecamatan Dendang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, menemukan beberapa hal yang memprihatinkan. Desa berpenduduk 712 jiwa yang dulunya sumber ekonomi primadonanya dari perkebunan sawit, kini apa yang terjadi. Akibat sistem pengelolaan lahan gambut dilakukan masyarakat tidak benar, akhirnya sawit-sawit masyarakat tidak lagi bisa tumbuh subur, begitu juga untuk budidaya lainnya.
Persoalanya, tata kelola air dan irigasi di lahan gambut tersebut tidak dilakukan dengan benar. Dari penelusuran riwat desa Jati Mulyo yang berdiri dari tahun 1985, dulu adalah daerah transmigrasi yang subur. Tapi kini masyarakat mulai beralih pikiran untuk melakukan budidaya lain, yaitu nanas. Ternyata pemerintah daerah setempat juga merespon baik keinginan masyarakat. Melalui program Bupati Tanjung Jabung Timur H. Romi Hariyanto, SE budidaya nanas seluas 2 hektar sudah dicanangkan sebagai lahan percontohan di Desa Jati Mulyo. Nanas memang salah satu tanaman (hortikultura) yang mampu tumbuh di atas lahan gambut.
Sebagai pendamping KLHK, penulispun mencoba memotivasi masyarakat atas program tersebut dengan membuat Rencana Kerja Masyarakat (RKM). Melalui program pemberdayaan masyarakat dengan mengupayakan budidaya nanas di lahan-lahan gambut milik masyarakat eks kebakaran tahun 2015. Dari hasil penelusuran, desa Jati Mulyo dengan luas 1605 hektar hampir 100 persen wilayah desa adalah hamparan gambut.
Dari analisis RKM Budidaya, penulis bersama teman-teman pendamping melalui konsep pengetahuan dan teori pengelolaan ekosistem gambut, disimpulkan bahwa salah satu jalan keluar untuk meningkatkan hasil perkebunan, dan budidaya masyarakat desa Jati Mulyo, pemerintah harus melakukan restorasi gambut dengan cara menghidupkan kembali kanal-kanal atau block kanal. Ini harapkan, agar suplai air dapat terserap cukup untuk lahan gambut. Salam restorasi gambut.(*)
Menanggapi Program 100 Hari Kerja Bupati Terpilih Dillah Tanjab Timur Menjelang Pelantikan