Ramadhany Agus, S.Sy., M.H.
Oleh: Ramadhany Agus, S.Sy., M.H.
Ketika Hukum Menjadi Narasi, Bukan Pengalaman
Dalam realitas hukum hari ini, ada jarak yang terus melebar antara apa yang disebut keadilan prosedural dengan keadilan substantif. Undang-undang berlaku, persidangan berjalan, dan lembaga hukum bekerja. Tetapi pertanyaannya: bagi siapa keadilan itu bekerja? Apakah hukum berpihak pada yang paling lemah, ataukah ia justru semakin menjauh dari denyut masyarakat yang hidup di lapisan bawah?
Istilah keadilan kerap dilafalkan dalam bahasa tinggi. Namun, jika kita kembali ke akar masyarakat petani kecil, buruh harian, pedagang kaki lima, nelayan, atau warga yang terpinggirkan secara ekonomi maka terasa jelas bahwa keadilan seringkali tidak mereka rasakan sebagai kenyataan, melainkan sebagai cerita. Sebuah dongeng, yang disusun dari atas, lalu dibacakan dari podium.
Dalam masyarakat demokratis, hukum seharusnya bekerja sebagai alat pembebas, bukan alat penjinak. Tapi ketika hukum lebih keras pada yang miskin dan lembut pada yang berkuasa, maka keadilan kehilangan moralitasnya.
Pilar yang Hilang dari Prosedur
Filsuf keadilan John Rawls dalam A Theory of Justice menyebut keadilan sebagai “keutamaan pertama dari institusi sosial.” Namun, Rawls juga menggaris bawahi pentingnya “veil of ignorance” bahwa sistem yang adil adalah sistem yang disusun tanpa mengetahui posisi sosial kita di dalamnya. Sayangnya, banyak kebijakan dan keputusan hukum hari ini disusun dengan kesadaran penuh atas posisi dan kuasa yang dimiliki sehingga lahir sistem yang berat sebelah.
Ketika hukum tidak sensitif terhadap konteks sosial, ia berubah menjadi alat formalitas yang jauh dari rasa. Padahal, sebagaimana diingatkan Amartya Sen, keadilan harus dinilai dari dampak nyatanya terhadap kehidupan manusia, bukan hanya bentuk institusinya.
Keadilan sebagai Etika Sosial
Dalam pandangan Timur, keadilan tidak hanya soal aturan, tetapi juga soal rasa dan harmoni sosial. Confucius, misalnya, tidak memisahkan antara hukum dan etika. Ia berkata:
“Jika rakyat dipimpin dengan hukum dan diatur dengan hukuman, mereka akan mencoba menghindari hukuman tapi tidak tahu malu. Jika dipimpin dengan moralitas dan tata krama, mereka akan memiliki rasa malu dan memperbaiki diri.”
Artinya, hukum yang terlalu menekankan pada hukuman tanpa mengedepankan keadilan moral dan sosial hanya akan menciptakan kepatuhan palsu. Dalam konteks ini, hukum bukan menjadi solusi, tetapi alat pembungkam.
Demikian pula Al-Farabi, dalam al-Madina al-Fadhilah (Negara Utama), menyebutkan bahwa negara yang ideal adalah negara yang menempatkan kebahagiaan bersama sebagai tujuan utama, bukan kekuasaan atau kendali.
Keadilan yang Terinstitusi, Tapi Tak Terdistribusi
Di banyak kasus hukum hari ini, tampak jelas bagaimana hukum bisa berjalan sangat cepat untuk yang tak berdaya, namun menjadi lamban atau bahkan tak menyentuh mereka yang berpunya kuasa. Proses yang disebut “selective justice” menjadi cermin betapa keadilan seringkali menyesuaikan diri pada ruang kekuasaan.
Keadilan yang sejatinya bersifat distributif dan korektif (sebagaimana Aristoteles bedakan), menjadi terlalu prosedural. Ia kehilangan sensitivitas sosial. Akibatnya, masyarakat yang berada di bawah merasa hanya menjadi objek sistem hukum bukan subjek yang diberi perlindungan.
Masyarakat pun bertanya, “Untuk siapa hukum ditegakkan?” Jika pertanyaan itu tak lagi bisa dijawab dengan lugas, maka sistem keadilan sedang menghadapi krisis legitimasi.
Membangun Legitimasi Sosial
Keadilan tidak bisa dibangun dari atas semata. Ia harus berpijak dari bawah: dari pengalaman orang biasa, dari kegetiran hidup di pinggir kota, dari realitas pedesaan yang tersisih pembangunan.
Kita perlu merehabilitasi makna hukum dan keadilan sebagai sesuatu yang berakar dari suara publik, bukan semata produk elite. Di sinilah pentingnya partisipasi masyarakat, keadilan restoratif, pendekatan budaya, serta pembelaan hukum yang menjangkau seluruh lapisan warga.
Dalam konteks lokal, banyak kearifan yang sesungguhnya mempraktikkan keadilan sosial secara lebih manusiawi seperti musyawarah adat, pemulihan berbasis komunitas, hingga pemaknaan kolektif atas keadilan moral. Jika ini diabaikan dalam sistem hukum formal, maka sistem akan terus asing bagi warganya.
Penutup: Jangan Biarkan Keadilan Jadi Mitologi
Kita tidak memerlukan hukum yang keras, kita memerlukan hukum yang adil. Kita tidak memerlukan hukum yang hanya terlihat bekerja, tetapi hukum yang benar-benar dirasakan bekerja oleh yang paling rentan sekalipun.
“Jika keadilan tak dimulai dari bawah, ia hanya dongeng yang dibacakan penguasa.”
Dan seperti dongeng lainnya, ia bisa menghibur, bisa membuat kita bertepuk tangan sejenak. Tapi setelah itu, kita kembali pada kenyataan: bahwa rakyat masih menunggu giliran untuk percaya bahwa hukum ada untuk mereka.